Isu
penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap pejabat tinggi negara menjadi
pemberitaan yang panas akhir – akhir ini. Hal tersebut menjadi masalah penting
di dalam negeri ini.
Hubungan Indonesia dan Australia kembali
menghadapi ujian berat. Pemerintah Indonesia dibuat kesal karena Australia
tidak membenarkan dan tidak membantah soal skandal penyadapan yang diungkap
media massa dari hasil bocoran Edward Snowden - mantan kontraktor badan
intelijen AS (NSA) yang tengah menjadi buronan Washington dan kini menetap di
Rusia tersebut.
Pernyataan
Perdana Menteri Australia Tony Abbott sama sekali tak dapat menjernihkan isu
penyadapan ini. Ia hanya mengatakan badan dan agen intelijen negaranya selalu
bertindak dalam koridor hukum. “Setiap badan pemerintah Australia bertugas
sesuai aturan yang berlaku,” kata dia.
“Buka rahasia mereka, lindungi rahasia
kita (reveal their secrets, protect our own)”. Itulah semboyan Badan Intelijen
Australia (Defence Signals Directorate) yang tahun 2013 ini berganti nama
menjadi Australian Signals Directorate (ASD). Dengan moto itu, agen-agen DSD
menjejakkan kaki di Bali ketika Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi
Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2007.
Dipetik dari vivanews.com, DSD
ini membawa tugas khusus, mengumpulkan nomor-nomor telepon para pejabat
pertahanan dan keamanan di Indonesia. Dalam misinya itu, DSD bekerja
bahu-membahu dengan badan keamanan nasional Amerika Serikat (National Security
Agency) untuk memperoleh informasi yang menjadi target mereka. Semua itu
diungkapkan Edward Snowden --mantan kontraktor NSA yang kerap membocorkan
rahasia intelijen AS-- dalam dokumen yang ia bocorkan dan dilansir harian
Inggris The Guardian, 2 November 2013.
DSD bahkan disebut
memasukkan ahli Bahasa Indonesia ke dalam timnya untuk memonitor dan menyeleksi
informasi dari komunikasi yang berhasil mereka dapatkan. “Tujuan dari upaya
(spionase) ini adalah untuk mengumpulkan pemahaman yang kuat tentang struktur
jaringan yang diperlukan dalam keadaan darurat,” kata dokumen Snowden itu.
Harian Australia
The Sydney Morning Herald melaporkan Negeri Kanguru secara intensif dan
sistematis melakukan aksi mata-mata dan membangun jejaring spionase mereka di
Tanah Garuda ini melalui kantor kedutaan besar mereka di Jakarta.
Fenomena yang
terjadi saat ini sangatlah menarik perhatian publik, karena upaya penyadapan
yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) dan Australia terhadap pejabat-pejabat
di Indonesia sebagaimana disampaikan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN),
Marciano Norman dilakukan sudah sangat lama. Bahkan Australia telah melakukan
penyadapan percakapan telepon sejumlah pemimpin Indonesia dalam kurun waktu
2007-2009.
Alhasil, kasus yang terbongkar ini telah
mengganggu hubungan diplomatik ke dua Negara yang berdaulat.
Langkah Presiden dalam menanggapi kasus
ini :
Hal ini tentunya mengundang respon
Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kepala negara. SBY melalui juru bicaranya
Julian Aldrin Pasha, Jumat 8 November 2013, menyatakan tak dapat menerima
adanya aksi penyadapan Australia terhadap Indonesia. Atas aksi tersebut,
akhirnya SBY mengeluarkan tiga langkah yang akan ditempuh menyangkut aksi
penyadapan tersebut. Yang pertama adalah Indonesia menunggu penjelasan dan
tanggung jawab Australia atas kasus penyadapan itu.
Kedua, sejumlah agenda kerja sama akan
dikaji ulang, seperti pertukaran informasi dan intelijen diantara kedua negara.
Selain itu latihan-latihan bersama antara tentara Indonesia dan Australia juga
dihentikan.Penghentian kerja sama ini termasuk dalam soal Coordinated Military
Operation antara Indonesia dan Australia. Selain itu, juga isu penyelundupan
manusia atau people smuggling.
Ketiga, untuk keberlanjutan hubungan
kedua negara, Presiden meminta pderlu ada semacam protokol, atau kode etik
(code of conduct), dan guiding principle menyangkut kerja sama di berbagai
bidang. Selain itu, rencananya Indonesia kini tengah meningkatkan kerjasama
pertahanannya dengan Rusia menyusul penyadapan yang dilakukan oleh Amerika
Serikat dan Australia terhadap para pejabat tinggi RI. Kesepakatan awal soal
peningkatan kemitraan Rusia-Indonesia dicapai di tingkat parlemen kedua negara
dalam kunjungan pimpinan parlemen Rusia ke DPR RI, Jakarta, 21 November 2013.
Sikap sangat
keprihatinan dan sangat kecewa yang ditunjukkan oleh Kementerian Kominfo ini
selain berdasarkan aspek hubungan diplomatik, juga karena mengacu pada aspek
hukum, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 36
Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik.
Pasal 40 UU Telekomunikasi
menyebutkan, bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan
atas informasi yang disalurkan melaiui jaringan telekomunikasi dalam bentuk
apapun. Demikian pula Pasal 31 ayat UU ITE menyebutkan ayat (1) bahwa
setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan / atau dokumen
elektronik dalam suatu komputer dan / atau elektronik tertentu milik orang
lain; dan ayat (2) bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atas transmisi informasi elektronik dan / atau
dokumen elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu
komputer dan / atau dokumen elektronik tertentu milik orang lain, baik
yang tidak menyebabkan perubahan apapun maupun yang menyebabkan adanya
perubahan, penghilangan dan / atau penghentian informasi elektronik dan / atau
dokumen elektronik yang sedang ditransmisikan.
Memang benar,
bahwa dalam batas-batas dan tujuan tertentu, penyadapan dapat dimungkinkan
untuk tujuan-tujuan tertentu tetapi itupun berat pesyaratannya dan harus izin
pimpinan aparat penegak hukum, sebagaimana disebutkan padaPasal 42 UU
Telekomunikasi menyebutkan (ayat 1), bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi
wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan
jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi yang diselenggarakannya; dan ayat (2) bahwa untuk keperluan
proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam
informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi
serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas: a. permintaan tertulis
Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana
tertentu; b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan
Undang-undang yang berlaku. Demikian pula kemungkinan penyadapan yang dibolehkan
dengan syarat yang berat pula yang diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE yang
menyebutkan, bahwa kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian, kejasaan, dan / atau institusi penegak hukum lainnya
yang dilakukan berdasarkan undang-undang.
Ancaman pidana
terhadap kegiatan penyadapan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU
Telekomunikasi yaitu penjara maksimal 15 tahun penjara dan Pasal 47 UU ITE
yaitu penjara maksimal 10 tahun penjara dan atau denda paling banyak Rp
800.000.000,-
Memang benar,
bahwa misi diplomatik asing dimungkinkan untuk memperoleh kekebalan diplomatik
sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri,
seperti disebutkan pada Pasal 16, yang menyebutkan, bahwa pemberian
kekebalan, hak istimewa, dan pembebasan dari kewajiban tertentu kepada
perwakilan diplomatik dan konsuler, misi khusus, perwakilan Perserikatan
Bangsa-Bangsa, perwakilan badan-badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan
organisasi internasional lainnya, dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional. Namun
demikian, masih di UU tersebut, pada Pasal 17 disebutkan ayat (1) bahwa berdasarkan
pertimbangan tertentu, Pemerintah Republik Indonesia dapat memberikan

pembebasan dari kewajiban tertentu kepada pihak-pihak yang tidak ditentukan
dalam Pasal 
16 dan ayat (2) pemberian pembebasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan berdasar pada 
peraturan perundang-undangan nasional.
Penjelasan Pasal 17 tersebut di antaranya disebutkan, bahwa pembebasan dari
kewajiban tertentu kepada pihak-pihak yang tidak disebutkan dalam Pasal 16
hanya dapat diberikan oleh pemerintah atas dasar kasus demi kasus, demi
kepentingan nasional, dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan nasional. Dengan demikian, pemberian imunitas tersebut tidak
boleh bertentangan dengan UU yang ada. Sehingga dalam hal ini, jika dugaan
pelanggaran penyadapan oleh Australia melalui misi diplomatiknya telah
dibuktikan, maka imunitas tersebut dapat dianggap bertentangan dengan UU yang
berlaku, dalam hal ini UU Telekomunikasi dan UU ITE.
Kementerian
Kominfo sejauh ini berpandangan, bahwa kegiatan penyadapan tersebut belum
terbukti dilakukan atas kerjasama dengan penyelenggara telekomunikasi di
Indonesia. Namun jika kemudian terbukti, maka penyeleggara telekomunikasi yang
bersangkutan dapat dikenai pidana yang diatur daam UU Tekomunikasi dan UU ITE.
Bahwasanya
kegiatan penyadapan oleh Australia tersebut sangat mengusik kedaulatan dan
nasionalisme Indonesia adalah benar. Namun demikian Kementerian Kominfo melalui
siaran pers ini menghimbau agar kepada para hacker untuk tidak melakukan
serangan balik kepada pihak Australia. Hal itu selain dapat berpotensi
memperburuk situasi, tetapi juga justru berpotensi melanggar UU ITE.
Juga perlu
diingatkan kepada publik, bahwa apapun perakitan, perdagangan dan atau
penggunaan perangkat sadap yang diperdagangkan secara bebas adalah suatu bentuk
pelanggaran hokum, karena bertentangan dengan UU Telekomunikasi. Kementerian
Kominfo tidak pernah memberikan sertifikasi perangkat sadap terkecuali yang
digunakan oleh lembaga penegak hukum yang disebutkan pada Pasal 40 UU
Telekomunikasi dan Pasal 31 UU ITE. Demikian pula anti sadap pun juga
illegal, karena Kementerian Kominfo tidak pernah mengeluarkan sertidikat untuk
perangkat (baik hard ware maupun software) anti sadap.
Source