Ibu,
aku memang tak melihat,
hari di mana kau dilahirkan,
tetapi aku yakin,
hari itu pastilah hari yang indah,
langit memerah jambu,
awan berdesakan hendak turun,
mentari mengerlingkan mata,
sorepun tak ingin beranjak menjadi malam,
karena gembiranya dunia,
menyambut kehadiran wanita mulia.
aku memang tak melihat,
hari di mana kau dilahirkan,
tetapi aku yakin,
hari itu pastilah hari yang indah,
langit memerah jambu,
awan berdesakan hendak turun,
mentari mengerlingkan mata,
sorepun tak ingin beranjak menjadi malam,
karena gembiranya dunia,
menyambut kehadiran wanita mulia.
Ibu
aku memang tak melihat,
hari di mana aku dilahirkan,
hari yang kau senyumi,
hari yang kutangisi,
hari yang tak pernah kunanti,
karena ketakutanku yang amat sangat,
tentang sebuah balas budi,
dan janji-janji bakti,
yang tak mungkin kupenuhi,
untuk mewujudkan harapanmu.
aku memang tak melihat,
hari di mana aku dilahirkan,
hari yang kau senyumi,
hari yang kutangisi,
hari yang tak pernah kunanti,
karena ketakutanku yang amat sangat,
tentang sebuah balas budi,
dan janji-janji bakti,
yang tak mungkin kupenuhi,
untuk mewujudkan harapanmu.
Ibu
aku masih bisa melihat senyummu,
kurang lebih,
hampir sama seperti senyummu dulu,
ketika kau melahirkanku,
tetapi ijinkan aku bertanya,
bukankah bulan tak selamanya purnama?
dan embun pagi akan diteguk binatang melata,
akupun telah tak telanjang lagi,
karena berbaju tebal keangkuhan,
maka seyogyanya,
menangislah bunda.
aku masih bisa melihat senyummu,
kurang lebih,
hampir sama seperti senyummu dulu,
ketika kau melahirkanku,
tetapi ijinkan aku bertanya,
bukankah bulan tak selamanya purnama?
dan embun pagi akan diteguk binatang melata,
akupun telah tak telanjang lagi,
karena berbaju tebal keangkuhan,
maka seyogyanya,
menangislah bunda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar